Seiring berkembang teknologi informasi,
jejaring media sosial memiliki pengaruh yang tidak kalah kuat dengan
media-media konvensional, seperti koran, radio, maupun televisi. Hal ini tidak
lepas karena hampir sebagian besar masyarakat saat ini memiliki akun media sosial.
Bahkan, media sosial sudah menjadi kebutuhan di era digital seperti sekarang
ini.
Sayangnya, pesatnya perkembangan media
sosial tidak dibarengi dengan keakuratan informasi-informasi yang disampaikan. Banyak
informasi yang ter-publish di media
sosial tidak mengandung kebenaran alias hoax. Parahnya lagi, masyarakat yang
mendengar atau membaca informasi tersebut mudah sekali percaya, tanpa terlebih
dahulu melakukan cek dan ricek. Belum lagi, masyarakat yang
percaya dengan berita hoax tadi menyebarkan ke akun media sosialnya yang secara
otomatis orang lain akan ikut mendapat informasi palsu tersebut.
Adanya berita palsu atau hoax tidak
lepas karena peran yang dihadirkan media sosial. Hal inilah yang membuat
beberapa pihak tertentu justru memanfaatkan media sosial untuk tujuan yang
negatif. Dalam hal ini, secara tidak langsung media sosial juga berperan sebagai
wadah untuk menyebarkan propaganda atau informasi provokatif.
Lantas bagaimana cara masyarakat
mengatasi informasi-informasi yang ada di media sosial, terlebih informasi
tersebut belum diketahui kebenarannya. Hal inilah yang mendorong Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meminta masyarakat bersikap kritis
terhadap setiap informasi yang menyebar cepat di media sosial karena tidak
seluruhnya kredibel sebagai acuan informasi.
Melalui kegiatan Editors Meeting
bertajuk "Untuk Publik Demi Republik" di Yogyakarta, Kominfo juga
meminta kepada masyarakat untuk memeriksa kembali kebenaran informasi yang
diterima, jangan langsung percaya dengan informasi yang menyebar di media
sosial.
Kominfo menyadari bahwa masyarakat masih
perlu mendapatkan literasi media secara optimal agar mampu menyaring berbagai
informasi yang menyebar bebas di media sosial. Kominfo juga mengakui hingga
saat ini memang belum ada regulasi yang lebih spesifik mengatur persebaran
informasi yang tidak sahih di media sosial, kecuali bersandar pada
Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
(Fahrudin Mualim)
Dikutip dari antaranews.com dengan
berbagai perubahan.
0 komentar:
Posting Komentar